Aisyah adinda kita yang sopan dan jelita
Angka SMP dan SMA sembilang rata – rata
Pandai mengarang dan berorganisasi
Mulai Muharram satu empat nol satu
Memakai jilbab menutup rambutnya
Busana muslimah amat pantasnya
Aisyah adinda kita yang sopan dan jelita
Indeks prestasi tertinggi tiga tahun lamanya
Calon insinyur dan bintang kampus
Bulan Muharram satu empat nol empat
Tetap berjilbab menutup rambutnya
Busana muslimah amat pantasnya
Aisyah adinda kita
Tidak banyak dia berkata
Dia memberi contoh saja
Ada sepuluh Aisyah berbusana muslimah
Ada seratus Aisyah berbusana muslimah
Ada sejuta Aisyah berbusana muslimah
Ada sejuta Aisyah
Aisyah adinda kita.
Oleh Taufiq Ismail 1984
-dinyanyikan Himpunan Musik Bimbo-
Tetesan – tetesan hujan
Jatuh tak tertahankan
Dari ketinggian yang sempurna
Di atas taman – taman
Para pemilik rindu
Kehangatan sentuhannya.
Kurasakan tetesan itu
Satu persatu menusuk kulit
Hingga hawa dingin
Menembus tulang
Saat aku pergi
Menemui rinduku, jauh di sana
Terpisahkan pandangan
Lebatnya hujan.
Aku tak peduli
Badai ini harus ku lalui
Karena hasrat melampaui
lebatnya hujan
walau ku harus tenggelam
beku di dalamnya
ini rinduku padamu
saat hujan sore itu.
Aku datang padamu
Seakan dirimu tahu
Aku rindu dan rindu
Pada dirimu dan dirimu
Secangkir teh kau seduhkan
Hangatkan dinginnya hujan
Seuntai perhatian kau suguhkan
Dengan senyumanmu yang manis
Hanya Tuhan yang mampu
Menciptakan suasana ini
Aku dan dirimu hanya butiran pasir
Di dalam pasir waktu
Yang menanti hujan redah
Hingga rindu itu kembali hadir
Dan terus hadir
Sampai tak ada lagi
Air yang menetes
Dari ketinggian yang sempurna
Yaa Rabb,
Aku mencintainya
Semenjak aku belum paham
Cinta yang sesungguhnya
Yaa Rabb,
Ampunilah aku
Jika ku telah salah
Mencinta dirinya
Gadis yang sempurna bagiku
Walau kesempurnaan itu
Belum ku tahu batasnya
Yaa Rabb,
Berapa lama lagi ku harus menunggu?
Hingga ikrar bisa ku ucapkan
Di hadapan imam
Tuk menyanding hatinya
Memiliki seutuhnya.
Itu hanya sebuah jam tangan biasa. Dengan warna perak putih dengan enam permata hijau berbentuk hati, bukan asli. Dapat kamu rawat selama kamu ingin. Dapat kamu pakai selama tak usang. Jika sudah usang, simpan saja.
Itu hanya sebuah penunjuk waktu. Walaupun dia tak dapat terus menunjukkan waktu. Suatu saat ia akan berhenti dan itu tak menghentikan waktu. Seperti nafas yang terhenti tapi tak mampu menghentikan kehidupan. Kecuali kiamat.
Aku menulisnya kala ku tak sadar dia datang. Menyapa sepiku, mengusik tidurku sampai aku terpejam kembali, lagi dan lagi. Hingga aku tersadar dari mimpi yang menghanyutkanku dalam tidur terbawa arus kegarangan.
Semua kembali seperti kemarin. Matahari tetap sama, awan yang menggantung pun masih itu juga. Tak ada yang verubah di mataku. Tapi, tunggu sejenak!
Kicauan itu kembali lagi, tanpanya. Burung pekicau itu nyata. Ia bermain dengan bunga – bunga di depan teras.
Cukup sudah. Cukup sudah. Aku ingin kembali lagi. Kini peraku berganti. Mengantarkan madu pada sari, agar tumbuh bunga baru.
Cukup sudah. Cukup sudah. Aku berkicau menghibur pagi.
menampakkan wajahnya yang sinis.
Bumi berusaha sembunyi
dari tatapannya yang tajam
Sang hujan mengambil peran
turut membantu sang bumi.
Angin menari
menyambut kedatangannya
Gema gemuruh
menggelegar di udara
membuat suasana kian meriah.
burung - burung berkicau
mengembangkan kewajibannya
menghibur suasana.
Samudra, sahabat sang bumi
menyambut kedatangan sang hujan
tamu istimewanya.
di tengah padang tempat menanti
seorang kekasih pujaan hati
Tiga puluh enam sudah purnama menghampiri
hanya padamu ku menepi
walau sisimu nelum tergapai
Aku rindu sejak pertama kali itu
saat kita masih lugu
tiga puluh enam purnama lalu
Kini aku rindu, lagi
melewati purnama yang silih berganti
dirimu terbawa mimpi
semenjak tanganmu menjabat hati
ku katakan padamu
lewat pesan singkat
sebelum lelap menutup mata
"Hal seperti itu
tak perlu dimaafkan.
Siapa yang bisa
menyalahkan perasaan?
Tidak seorangpun".
Jawabmu, lewat pesan singkat
sebelum lelap menutup mata
Aku harus seperti apa?
dirimu tak ingin menentukan
takut tak baik menurutku
dirimu pun ragu dengan jalanmu.
Tapi aku ingin
ada goresan di tanganku, olehmu
tetap sayang
dan cinta
Betapa pun dirimu
selalu mengatakan tidak lagi.
Itu tak menghalagi inginku
meruntuhkan harapku
tetap sayang
dan cinta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar